Digaji tinggi, ya Tetap Korupsi
DALAM sebuah perdebatan yang membahas soal korupsi di sebuah stasiun televisi, Pak Kwik Kian Gie punya pendapat yang bagus, Untuk memberantas korupsi di Indonesia sebaiknya para pejabat pemerintah digaji setinggi-tingginya, lha kalau sudah digaji tinggi kok tetap saja korupsi, maka sebaiknya ditembak saja kepalanya.
Waktu itu saya yang nonton tayangan itu bersama Dul Kincer langsung setuju, saya malah keplok-keplok kegirangan, Dul Kincer saja yang bereaksi sebaliknya, Dia mennyambut dingin ide cemerlang itu.”Memangnya negara kita itu seperti apa? Enak betul mau nembak kepala orang, Lha wong yang bakal ditugasi nembak kepala para koruptor itu ya ikut pada melakukan korupsi, masak dia mau nembak kepalanya sendiri terlebih dahulu baru nembak kepala para koruptor?” bantahnya waaktu itu.
Nah, sekarang setelah ribut-ribut lagi soal korupsi di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan CukaiTanjung Priok, Jakarta Utara, saya langsung cep klakep, nggak bisa ngomong. Soalnya, sebagai rakyat, diam-diam saya termasuk yang setuju ketika beberapa waktu sebelumnya Menkeu Sri Mulyani melakukan reformasi kepegawaian di Departemen Keuangan-termasuk Bea dan Cukai-dengan memberikan gaji yang tinggi, Itu berarti seiring dengan jalan pemikiran Pak Kwik.
Ternyata, ealaaa…,yang namanya mental maling itu ya tetap saja maling, Dihadapan sohib saya Dul Kincer, saya langsung precang-precing, kisinan.
“Apa kubilang? Lha mbok gajinya mau dinaikkan sepuluh kali lipat pun nggak akan bisa mencegah aparat kita agar tidak korupsi.” cetus Dul Kincer, ”Kamu lihat sendiri kan laporan di media-media cetak, tayangan di televisi, soal amplop-amplop siluman yang ditemukan oleh KPK di laci meja, lemari berkas, tas kerja para pegawai Bea dan Cukai, Malah ada juga amplop yang diselipkan di kaos kaki.”
“Lha terus enaknya gimana ya, Dul?” sahut saya nggoblogi.
“Kok enaknya gimana, ya memang nggak ada enak-enaknya kok, Artinya di kita, para rakyat melarat ini yang nggak ada enaknya, Bagi yang korupsi jelas enak-enak saja”
“Maksud saya, mosok sih korupsi di negara kita ini nggak bisa diberantas, Wong negara lain saja bisa lho.”
“Ini negara Republik Indonesia Mat, bukan negara lain, Di Cina memang dikabarkan, sepanjang tahun 2001 sampai 2004 sudah ada empat ribu koruptor yang ditembak mati, kalau disini siapa yang mau nembak siapa? Lihat sajalah, sebentar lagi ribut-ribut soal amplop suap dan pungutan liar yang dalam sekejap terkumpul setengah milliar rupiah di KPU Bea dan cukai Tanjung Priok itu juga nggak bakalan berbuntut panjang, Sebentar juga selesai, Rakyat lupa, dan para tikus itu kumat lagi, Dulu juga begitu kok, Nggak ada itu pemberantasan yang bersifat permanen.”
Saya menggut-manggut, Pura-puranya sedih, Pura-puranya pasang wajah murung, Saya bilang pura-pura, soalnya- seperti seluruh rakyat Indonesia-saya juga tau kalau masalah korupsi sudah menjadi perbincangan yang membosankan. Disedihkan juga percumah. Benar apa yang dikatakan Dul Kincer tempo hari, berita soal pemberantasan korupsi di negeri ini sudah mboseni, njelehi dan nggilani, Sebentar-sebentar ada kabar pejabat X ditangkap, pejabat Y ditangkap, lha wong semua korupsi kok yang ketangkep cuma satu dua, itu kata Dul Kincer.
Kembali ke soal peredaran duit pelicin di jajaran Bea dan Cukai yang kabarnya mencapai 7 triliun dalam setahun, Dul Kincer iseng-iseng menghitung, Angka Rp 7 triliun itu baru dari satu direktorat dalam satu departemen, Lha kalau sepuluh direktorat saja kan berarti ada Rp 70 triliun, Kalau duapuluh direktorat? Berarti Rp 140 triliun, Itu baru dalam setahun, Padahal tradisi sogok-menyogok di negeri kita ini sudah puluhan tahun.
“Bayangkan sendirilah, Mat, berapa duit duit negara yang digaglag kawanan tikus itu? Seandainya dipakai mensubsidi BBM kan sudah bisa, nggak perlu ada BLT yang bikin kisruh itu”
“Ya nggak usah dibayangkan wong sudah digaglag, Yang jelas, kali ini aku setuju kamu, bahwa gaji gede ternyata nggak bisa buat ngerem nafsu korupsi.”
“Apa kubilang! Bener, kan? Bener, kan ?”
Dul Kincer senyum-senyum penuh kemenangan.
|
1 komentar:
Yth. Pimpinan Redaksi bersama para staf Redaksi Majalah GENTA Sragen Jawa Tengah
Selamat pagi,
Nama saya Nanang Sonny, domisili di Madiun Jawa Timur.
Sebelumnya saya mohon maaf bila kurang berkenan dengan e-mail saya ini.
Langsung saja Bapak, saya berkeinginan membangun kembali eksistensi Majalah GENTA di wilaya Madiun dan sekitarnya yang kurang lebih 2-3 tahun ini vakum.
Saya dulu pernah mengelola Majalah ini bersama Bapak Susilo Wardaya jln. Prajuritan Madiun. Dan beberapa artikel sayapun sudah sering dimuat Majalah ini meskipun bukan dengan nama saya.
Saya sudah berkoordinasi dengan Bapak Susilo, dan beliaunya sanggup membantu saya.
Untuk itu saya mohon bimbingan dan dukungan dari Redaksi, serta prosedur apa saja yang harus saya penuhi untuk mendapatkan lisensi dari Majalah GENTA agar saya mendapat kepercayaan dari masyarakat wilayah Madiun.
Terima kasih, mohon maaf bila kurang berkenan sehubungan dengan e-mail saya ini.
hormat saya,
Nanang Sonny
Posting Komentar