Recent Videos

NGRASANI SUSNO

MEMBACA koran pagi yang memberitakan soal ditangkapnya Komjen Susno Duadji kontan kepala Dul Kincer geleng-geleng. “Sungguh aku tak mengira bakal begini jadinya.”
Saya langsung tertawa geli. Juga kasihan melihat mimik wajah sobat kental saya itu. Kok sampai sebegitunya olehe nggagas kondisi bangsa ini.
“Lha menurut perkiraanmu bagaimana to, Dul?”
“Ya menurutku Komjen Susno justru mendapatkan penghargaan yang tinggi. Kalo perlu dinaikan pangkatnya jadi bintang empat trus diberi tugas sebagai Kapolri. Karena telah membongkar mafia pajak dan menunjukkan betapa amburadulnya kepolisian kita.”
“Woo… itu pikiran yang kebalik-balik, Dul.”
“Maksudmu?”
“Aku kasih contoh sederhana saja, yang terjadi di masyarakat sekeliling kita. Jika ada yang melapor soal perselingkuhan misalnya, yang diurus itu bukannya benar tidaknya perselingkuhan itu, tapi siapa yang melapor. Kenapa kok dilaporkan. Jadi yang salah itu yang melapor. Iya nggak?
Begitu pula soal korupsi. Jika ada yang melaporkan maka yang akan diurus sampai ke lubang tikus justru yang melapor. Bukan benar tidaknya adanya korupsi itu.”
“Jadi menurutmu justru langkah Susno itu salah?”
“Bukan salah. Dia benar.”
“Kalo benar kok ditangkap?”
“Justru karena langkahnya benar itu harus ditangkap. Karena ngacak-acak citra Polri. Logikanya ya kayak perselingkuhan yang aku katakan di depan itu lho.”
“Jadi, bagaimana dong langkah yang harus ditempuh Susno.”
“Woo, itu tak gampang dijawab dengan seluruh rangkaian dan silang-sengkarut yang terlanjur terjadi sekarang. Mesti diurai dari depan. Sejak kasus Cicak versus Buaya. Ingatkan, waktu itu, waktu dibahas di DPR, Susno nampak masih dibela oleh Kapolri. Seharusnya sejak itu dia diem aja di rumah momong cucu. Nggak usahlah dia komentar macem-macem di depan pers. Waktu dicopot dari jabatannya Kabareskrim ya diemkan aja. Toh besok-besok kalo rakyat sudah lupa naikkan aja jabatannya jadi Kapolri. Selesai to?”
“Masak rakyat bisa lupa?”
“Heloh, rakyat itu gampang lupa. Gimana kamu itu. Aku dan kamu itu rakyat lho, Dul. Kita lupa lho kalo bupati, gubernur, presiden, anggota DPR, pernah janji kepada kita untuk menyejahterakan kita. Begitu jadi, busss.. janji itu bablas angine. Dan kita nggak bisa apa-apa. Lima tahun kemudian kita sudah lupa. Maka memilih mereka kembali. Lucunya, yang kita pilih ya yang dulu pernah bikin janji palsu itu. Hehehe…”
“Oke, itu aku sudah hapal. Sekarang kembali ke soal Susno. Menurutmu setelah keberaniannya membongkar kasus mafia pajak itu apa nggak sepantasnya dia diberi penghargaan?”
“Maksudmu dianggap sebagai pahlawan gitu?”
“Ya sejenis itulah.”
“Kalo menurutku nggak perlu.”
“Alasanmu?”
“Lha wong tindakannya membongkar itu juga karena kepepet. Seandainya dia tidak semakin dipojokkan, semakin dikorbankan, ya nggak mungkin dia sampai hati membakar rumahnya sendiri. Menurutku lho, tindakan Susno itu kan sebentuk perlawanan. Berbekal modal yang ada nekad berperang.”
“Trus menurut kamu kelak bagaimana endingnya?”
“Endingnya ya bergantung mana yang kuat. Jadi soalnya cuma kuat-kuatan. Mana yang lebih kuat. Persis dengan dunia politik. Benar dan salah itu ditentukan oleh yang kuat dan yang menang. Minakjingga itu dianggap pemberontak oleh Ratu Kencanawungu. Soalnya dia kalah. Padahal Minakjingga alias Urubisma itu pahlawan bagi kawulanya.”
Dul Kincer manggut-manggut tanda setuju.
“Mau contoh yang lebih gres?”
Dul Kincer mengangguk.
“Sri Mulyani, Menkeu Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua. Menurutmu dia itu pahlawan ekonomi Indonesia atau bukan?”
Dul Kincer terdiam. Matanya cuma mentheleng.
“Nah, bingung kan? Soalnya menurut Presiden SBY, Ruhut Sitompul, dan sekelompoknya itu Sri Mulyani dianggap sebagai wanita intelektual terbaik Indonesia. Sementara oleh Pansus Century dianggap sebagai tokoh dibalik amburadulnya Bank Century itu.”
“Tapi setelah Sri dipastikan bakal hengkang ke World Bank kahanan lerem. Dan ada tengara bahwa kasus Century bakal dipetieskan alias mandeg.”
“Itulah makanya, Pak Kwiek Kian Gie bengok-bengok di televisi. Lha wong orang baru tersandung masalah hukum kok ditawani hengkang ke Amerika. Menurut kamu sendiri piye jajal?”
“Ya gak ada bedanya dengan lagu campursari Sri Minggat. Jare lunga neng pasar tuku trasi jebul ora bali-bali.”
“Nah, itu kamu lho. Kalo ada pembaca protes yang ngomong kamu lho. Bukan aku. Kalo aku justru merasa kehilangan. Soalnya baru sekali ini aku bisa melihat senyum yang paling sinis dari seorang wanita petinggi negara.”
Dul Kincer kembali manggut-manggut.
Saya kembali mengetik. Soalnya saat Dul Kincer mertamu itu memang hari lembur nasional media tempat saya bekerja.

OPINI

GURU BUKAN TERORIS
oleh: T.Yulianto

Penyelenggaraan Ujian Nasional bagi siswa SMA/SMK pertengahan april 2008 kembali memunculkan banyak persoalan yang sifatnya teknis dan non teknis. salah satu persoalan yang mencuat ke permukaan adalah praktek kecurangan UN.
kecurangan dalam UN nampak dari terbongkarnya kasus pembocoran soal dan kunci jawaban UN, perbantuan jawabankepada siswa, hingga jual-beli kunci jawaban. Ironisnya kecurangan dalam UN banyak melibatkan oknum guru.

Menyikapi praktek kecurangan dalam UN, pemerintah
(depdiknas) bekerjasama dengan aparatus kepolisian melakukan upaya preventif hingga represif. Tidak mengherankan banyak oknum guru yang terbukti melakukan praktek kecurangan ditangkap oleh jajaran kepolisian. memang UN selalu menjadi masalah didalam atmosfer pendidikan nasional. UN yang diharapkan menjadi tolok ukur peningkatan mutu pendidikan nasional justru menjadi "simalakama" politik pendidikan. produk UN tidak secara otomatis mampu mendongkrak mutu pendidikan nasional.Tindakan tegas pemerintah yang memberantas kecurangan
dalam UN memang patut diapresiasi. namun ada 'segudang" penyesalan dari berbagai kalangan terhadap metode represif yang dilakukan aparat keamanan. Dimana pelaku kecurangan dalam UN seperti dipolitisasi sebagai aktor kriminalitas.bahkan dianggap seperti pelaku terorisme, dengan turunnya tim DENSUS 88 anti teror dalam meredam praktek kecurangan dalam UN. Tidak mengherankan akhirnya tumbuh opini publik, bahwa guru dan pelaku kecurangan UN disamakan posisinya dengan aktor terorisme. Guru diidentikkan menjadi "teroris" yang dianggap melanggar konstitusi/ideologi negara dan akhirnya dijadikan pesakitan.

untuk lebih lengkap Baca majalah GENTA edisi 100

Digaji tinggi, ya Tetap Korupsi

DALAM sebuah perdebatan yang membahas soal korupsi di sebuah stasiun televisi, Pak Kwik Kian Gie punya pendapat yang bagus, Untuk memberantas korupsi di Indonesia sebaiknya para pejabat pemerintah digaji setinggi-tingginya, lha kalau sudah digaji tinggi kok tetap saja korupsi, maka sebaiknya ditembak saja kepalanya.
Waktu itu saya yang nonton tayangan itu bersama Dul Kincer langsung setuju, saya malah keplok-keplok kegirangan, Dul Kincer saja yang bereaksi sebaliknya, Dia mennyambut dingin ide cemerlang itu.”Memangnya negara kita itu seperti apa? Enak betul mau nembak kepala orang, Lha wong yang bakal ditugasi nembak kepala para koruptor itu ya ikut pada melakukan korupsi, masak dia mau nembak kepalanya sendiri terlebih dahulu baru nembak kepala para koruptor?” bantahnya waaktu itu.
Nah, sekarang setelah ribut-ribut lagi soal korupsi di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan CukaiTanjung Priok, Jakarta Utara, saya langsung cep klakep, nggak bisa ngomong. Soalnya, sebagai rakyat, diam-diam saya termasuk yang setuju ketika beberapa waktu sebelumnya Menkeu Sri Mulyani melakukan reformasi kepegawaian di Departemen Keuangan-termasuk Bea dan Cukai-dengan memberikan gaji yang tinggi, Itu berarti seiring dengan jalan pemikiran Pak Kwik.
Ternyata, ealaaa…,yang namanya mental maling itu ya tetap saja maling, Dihadapan sohib saya Dul Kincer, saya langsung precang-precing, kisinan.
Apa kubilang? Lha mbok gajinya mau dinaikkan sepuluh kali lipat pun nggak akan bisa mencegah aparat kita agar tidak korupsi.” cetus Dul Kincer, ”Kamu lihat sendiri kan laporan di media-media cetak, tayangan di televisi, soal amplop-amplop siluman yang ditemukan oleh KPK di laci meja, lemari berkas, tas kerja para pegawai Bea dan Cukai, Malah ada juga amplop yang diselipkan di kaos kaki.”
Lha terus enaknya gimana ya, Dul?” sahut saya nggoblogi.
Kok enaknya gimana, ya memang nggak ada enak-enaknya kok, Artinya di kita, para rakyat melarat ini yang nggak ada enaknya, Bagi yang korupsi jelas enak-enak saja”
Maksud saya, mosok sih korupsi di negara kita ini nggak bisa diberantas, Wong negara lain saja bisa lho.”
Ini negara Republik Indonesia Mat, bukan negara lain, Di Cina memang dikabarkan, sepanjang tahun 2001 sampai 2004 sudah ada empat ribu koruptor yang ditembak mati, kalau disini siapa yang mau nembak siapa? Lihat sajalah, sebentar lagi ribut-ribut soal amplop suap dan pungutan liar yang dalam sekejap terkumpul setengah milliar rupiah di KPU Bea dan cukai Tanjung Priok itu juga nggak bakalan berbuntut panjang, Sebentar juga selesai, Rakyat lupa, dan para tikus itu kumat lagi, Dulu juga begitu kok, Nggak ada itu pemberantasan yang bersifat permanen.”
Saya menggut-manggut, Pura-puranya sedih, Pura-puranya pasang wajah murung, Saya bilang pura-pura, soalnya- seperti seluruh rakyat Indonesia-saya juga tau kalau masalah korupsi sudah menjadi perbincangan yang membosankan. Disedihkan juga percumah. Benar apa yang dikatakan Dul Kincer tempo hari, berita soal pemberantasan korupsi di negeri ini sudah mboseni, njelehi dan nggilani, Sebentar-sebentar ada kabar pejabat X ditangkap, pejabat Y ditangkap, lha wong semua korupsi kok yang ketangkep cuma satu dua, itu kata Dul Kincer.
Kembali ke soal peredaran duit pelicin di jajaran Bea dan Cukai yang kabarnya mencapai 7 triliun dalam setahun, Dul Kincer iseng-iseng menghitung, Angka Rp 7 triliun itu baru dari satu direktorat dalam satu departemen, Lha kalau sepuluh direktorat saja kan berarti ada Rp 70 triliun, Kalau duapuluh direktorat? Berarti Rp 140 triliun, Itu baru dalam setahun, Padahal tradisi sogok-menyogok di negeri kita ini sudah puluhan tahun.
Bayangkan sendirilah, Mat, berapa duit duit negara yang digaglag kawanan tikus itu? Seandainya dipakai mensubsidi BBM kan sudah bisa, nggak perlu ada BLT yang bikin kisruh itu”
Ya nggak usah dibayangkan wong sudah digaglag, Yang jelas, kali ini aku setuju kamu, bahwa gaji gede ternyata nggak bisa buat ngerem nafsu korupsi.”
Apa kubilang! Bener, kan? Bener, kan ?”
Dul Kincer senyum-senyum penuh kemenangan.


 
Support : Creating Website | GENTAMAG Template | GENTAMAG
Copyright © 2014. GENTA - All Rights Reserved
Template Created by Jajak Ary Nugroho Proudly powered by Jari Animation Solo